makalah fiqih muamalah jual beli
MAKALAH
MUAMALAH
DAN JUAL BELI
Untuk
memenuhi tugas mata kuliah Fiqih II
Dosen
Pengampu : M.Samson Fajar , M.Sos.I
Oleh
:
Isa
Ansori : 15420022
Rofiq
Asiddiqi : 15420026
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH METRO
FAKULTAS
AGAMA ISLAM
PROGRAM
STUDY KUMUNIKASI PENYIARAN ISLAM
2017
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah kami
panjatkan pujis yukur dengan berkat rahmat Allah SWT, yang telah memudahkan kami
dalam menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik. Shalawat dan salam semoga
dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, Rasulullah terakhir yang diutus dengan
membawa syari’ah yang mudah, penuh rahmat, dan membawa keselamatan dalam
kehidupan dunia dan akhirat.
Makalah berjudul Muamalat Dan Jual Beli ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Fiqh II. Kami telah berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan
yang ada agar makalah ini dapat tersusun sesuai harapan. Sesuai dengan
fitrahnya, manusia diciptakan Allah sebagai makhluk yang tak luput dari
kesalahan dan kekhilafan, maka dalam makalah yang kami susun ini belum mencapai
tahap kesempurnaan.
Kami mengucapkan terima
kasih kepada pihak-pihak yang turut membantu dalam proses penyelesaian makalah
ini, khususnya kepada Bapak Samson Fajar yang telah memberikan tugas makalah
ini. Mudah-mudahan makalah ini dapat memberikan manfaat untuk kitasemua dalam kehidupan
sehari-hari.
Metro,
20 Oktober 2017
Penulis
(................................)
DAFTAR ISI
COVER
................................................................................................................ i
HALAMAN
JUDUL ........................................................................................... ii
KATA
PENGANTAR.......................................................................................... iii
DAFTAR
ISI........................................................................................................ iv
BAB
I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah................................................................................. 1
B.
Rumusan Masalah.......................................................................................... 1
C.
Tujuan
Penulisan............................................................................................ 2
BAB
II PEMBAHSAN
A. Definisi Mumalah ..................................................................................... 3
B. Definisi Jual Beli ...................................................................................... 3
C. Dasaar Hukum Jual Beli ........................................................................... 4
E. Macam-Macam Jual Beli .......................................................................... 9
F. Hikmah Jual Beli ...................................................................................... 11
G. Jual Beli Dalam Pendekatan Sosial .......................................................... 14
H. Jual Beli Dalam Pendekatan Ekonomi ..................................................... 15
BAB III PENUTUPAN
Kesimpulan ........................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 19
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Agama Islam mengatur
setiap segi kehidupan umatnya. Mengatur hubungan seorang hamba dengan Tuhannya
yang biasa disebut dengan muamalah ma’allah dan mengatur pula hubungan dengan
sesamanya yang biasa disebut dengan muamalah ma’annas. Nah, hubungan dengan sesama
inilah yang melahirkan suatu cabang ilmu dalam Islam yang dikenal dengan Fiqih
muamalah. Aspek kajiannya adalah sesuatu
yang berhubungan dengan muamalah atau hubungan antara umat satu dengan umat
yang lainnya. Mulai dari jual beli, sewa menyewa, hutang piutang dan lain-lain.
Untuk memenuhi
kebutuhan hidup setiap hari, setiap muslim pasti melaksanakan suatu transaksi
yang biasa disebut dengan jual beli. Si penjual menjual barangnya, dan si
pembeli membelinya dengan menukarkan barang itu dengan sejumlah uang yang telah
disepakati oleh kedua belah pihak.Jika zaman dahulu transaksi ini dilakukan
secara langsung dengan bertemunya kedua belah pihak, maka pada zaman sekarang
jual beli sudah tidak terbatas pada satu ruang saja.Dengan kemajuan teknologi,
dan maraknya penggunaan internet, kedua belah pihak dapat bertransaksi dengan
lancar.
Sebenarnya bagaimana
pengertian jual beli menurut Fiqih muamalah?Apa saja syaratnya? Lalu apakah
jual beli yang dipraktekkan pada zaman sekarang sah menurut fiqih muamalah? Tentu
ini akan menjadi pambahasan yang menarik untuk dibahas.
B.
Rumusan masalah
Dari beberapa uraian diatastentang perdagangan atau
jual beli yang sebagian telah dipaparkan,maka beberapa pertanyaan yangperlunya
untuk di jawab agar tidakada keraguan lagi.
1. Apa yang
dimaksud dengan mumalah ?
2. Apa yang di maksud dengan jual beli ?
3. Apa dasar hukum jual beli ?
4. Apa saja rukun-rukun dan syarat-syarat jual beli ?
5. Sebutkan macam-macam jual beli ?
6. Apa hikmah jual beli ?
7. Bagaimana
jual beli dalam pendekatan sosial ?
8. Bagaimana
Jual beli dalam pendekatan ekonomi ?
C.
Tujuan penulisan
1.
Untuk memperdalam
materi jual beli agar bisa menerapkan keluar.
2.
Memenuhi tugas mata
kuliah Fiqh II
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Mu’amalat
Dari
segi bahasa, “muamalah” berasal dari kata arab yaitu aamala, yuamilu,
muamalatan, yang berarti perlakuan atau tindakan terhadap orang lain dalam
suatu kepentingan. Kata-kata semacam ini adalah kata kerja aktif yang harus
mempunyai dua buah pelaku yang mengerjakan pekerjaan yang sama.
Muamalah
secara istilah, dapat diartikan dengan arti yang luas. Menurut Louis Ma’luf,
pengertian muamalah adalah hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan urusan
dunia, dan kehidupan manusia seperti jual beli, perdagangan, dsb.[1]
Muamalat,
yaitu hukum yang mengatur antara hubungan antara satu individu dengan individu
yang lain, atau natara individu dengan negara Islam, atau hubungan antara
negara Islam dengan negara-negara yang lain. Seluruh aturan ini bertujuan
menjaga hak-hak manusia,merealisasikan kemaslahatan dan menjauhkan segala
kemudaratan yang akan terjadi atau akan menimpa mereka. Fiqih muamalat adalah
kumpulan hukum yang ditetapkan demi terciptanya rasa aman, tegaknya undang
undang dalam negara atau masyarakat islam,juga demi terwujudnya keadilan dan
persamaan antar individu dalam komunitas atau masyarakat ini dengan cara
menyeimbangkan antara kepentingan yang saling bertentangan dan menjaga wilayah
terlarang yang lebih utama untuk dijaga dan dilestarikan, dan ini tidak menghilangkan
makna taat kepada Allah zdan menjaga hakNya, dan siapa yang meninggalkan hal
ini dianggap bermaksiat kepada Allah dan melalaikan hakNya.[2]
B.
Definisi Jual
Beli
Jual beli (al-bay) secara bahasa artinya memindahkan hak
milik terhadap benda dengan akad saling mengganti, dikatan : ba’a asy-syaia jika
ia mengeluarkannya dari hak miliknya, dan ba’ahu jika ia membelinya dan
memasukannya ke dalam hak miliknya.[3]
Adapun makna bay’i (jual beli) menurut istilah menurut
syaikh Al-Qalyubi dalam Hasyiyah-nya bahwa : “Akad saling mengganti
dengan harta yang berakibat kepemilikan terhadap suatu benda atau manfaat untuk
tempo waktu selamanya dan bukan untuk bertaqarrub kepada Allah.” Dengan kata
“saling mengganti“ maka tidak termasuk di dalamnya hibah, dan yang lain yang
tidak ada saling ganti, dan dengan kata “harta” tidak termasuk akad nikah sebab
walaupun ada saling ganti namun ia bukan mengganti harta dengan harta akan
tetapi halalnya bersenag-senang antara suami dan istri, dan dengan kata
“kepemilikan harta dan manfaatnya untuk selama-lamanya”, maka tidak termasuk di
dalamnya akad sewa karena hak milik dalam sewa bukan kepad bendanya tetapi pada
manfaatnya setimpal dengan jumlah bayaran yang dikeluarkan dan manfaat dalam
akad ini juga dibatasi dengan waktu tertentu. Adapun yang dimaksud manfaat yang
langgeng dalam definisi jual beli adalah seperti menjual hak tempat aliran air
jika air itu tidak akan sampai ke tujuan kecuali jika melalui perantara hak
orang lain. Dan tidak masuk dengan ucapan “tidak untuk bertaqarrub kepada
Allah” seperti hibah, sebab ia hanya pemberian manfaat yang mubah untuk
selamanya kepada pihak yang menerima namun bukan ntuk bertaqarrub kepada Allah.
Ada juga yang mendefinisikan jual beli sebagai pemilikan terhadap
harta atau manfaat untuk selamanya dengan bayaran harta.[4]
C.
Dasar Hukum
Jual Beli
Jual
beli disyariatkan berdasarkan al-Qur’an. Allah Subhanahu wata’ala berfirman :
وَاَحَلَّ
اْ للَّهُ اْلْبَيْعَ وَحَرَّمَ اْلرِّبَواْ
“padahal Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”(al-Baqarah : 275)
Juga
berdasarkan as-Sunnah al-Qauliyyah (sabda Rasullullah salallahu alaihi
wassallam) dan as-Sunnah al- Fi’liyah (perbuatan Rasullullah salallahu
alaihi wassallam )
اَلْبَيِّعَانِ
بِا لْخِيَارِمَا لَمْ يَتَفَرَّقَا
“pihak pembeli dan pihak pejual memiliki hak khiyar (memilih)
selama keduanya belum berpisah.”[5]
Di tempat lain Allah SWT. berfirman :
يَاَيُّهَا
الَّذِيْنَءَامَنُواْلاَتَاْ كُلُواْ اَمْوَلَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَطِلِ اِلاَّ
اَن تَكُوْنَ تِجَرَةً عنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْ
“hai orang-oran yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama suka di antara kamu.” (QS.
An-Nisa (4): 29)
Allah mengharamkan memakan harta
orang lain dengan cara batil yaitu tampa ganti dan hibah, yang demikian itu
adalah batil berdasarkan ijma’ umat dan termasuk di dalamnya juga semua jenis
akad yang rusak yang tidak boleh secara syara’ baik karena ada unsur riba atau jahalah
(tidak diketahui), atau karena kadar ganti yang rusak seperti minuman keras,
babi dan yang lainya dan jika yang diakadkan itu adalah harta perdagangan, maka
boleh hukumnya, sebab pengecualian dalam ayat di atas adalah terputus karena
harta perdagangan bukan termasuk harta yang tidak boleh dijualbelikan. Ada juga
yang mengatakan istitsna’ (pengecualian) pada ayat bermakna lakin (tetapi)
artinya akan tetapi, makanlah dari harta perdagangan, dan perdagangan adalah
gabungan antara penjualan dan pembelian.
Adapun dalil sunnah diantaranya
adalah hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah salallahu’alaihi wassallam,
beliau bersabda : “Sesungguhnya jual beli itu atas dasar saling ridha.” Ketika
ditanya tentang usaha apa yang paling utama, Nabi salallahu’alaihi wassallam
menjawab : “Usaha seseorang dengan tangannya sendiri, dan setiap jual beli
yang mabrur.” Jual beli yang mabrur adalah setiap jual beli yang tidak ada
dusta dan hianat, sedang dusta itu adalah penyamaran dalam barang yang dijual,
dan penyamaran itu adalah menyembunyikan aib barang dari penglihatan pembeli.
Adapun makna hianat ia lebih umum dari itu, sebab selain menyamarkan bentuk
barang yang dijual, sifat, atau hal-hal luar seprti ia menyifatkan dengan sifat
yang tidak benar atau memberi tau harga yang dusta.[6]
نَهَى رَسُوْلُ
اللَّهِ عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
“Telah melarang
Rasulullahu’alaihi wassallam jual-beli barang yang samar.”(H.R. Muslim)
لاَ تَشْتَرُو
االسَمَكَ فِى اْلمَاءِ فَاِنَّهُ غَرَرٌ
“Jangan kamu
sekalian membeli ikan dalam air, karena itu samar.”(H.R. Ahmad)
اِنَّ اللَّهَ
حَرَّمَ بَيْعَ اْخَمْرِ وَ الْمَيْتَةِ وَالْحِنْزِيْرِ وَالاَصْنَامِ
“Sesungguhnya
Allah mengharamkan menjual : arak, bangkai,
babi dan berhala.” (H.R. Muslim)[7]
Berdasarkan
dalil-dalil di atas hukum jual beli adalah halal sedangkan riba adalah haram.
Sedangkan menjual barang yang ghaib yang tidak kelihatan, maka hukumnya tidak
boleh. Dan syah menjual setiap barang yang suci yang bisa dimanfaatkan (menurut
syara’) yang dimiliki. Dan tidak syah menjual barang yang najis (seperti arak,
kotoran manusia, bangkai dll) dan tidak syah menjual barang yang tidak ada
manfaatnya (seperti semut kaljengking dsb.)[8]
D.
Rukun dn Syarat
Jual Beli
Rukun
Jual Beli ada lima perkara Yaitu :
1.
Penjual
Hendaklah ia pemilik yang sempurna
dari barang yang dijual atau orang yang mendapat izin menjualnya dan berakal
sehat, bukan orang bodoh.
2.
Pembeli
Hendaklah
ia termasuk kelompok orang yang diperbolehkan menggunakan hartanya, bukan orang
bodoh, dan bukan pula anak kecil yang tidak mendapat izin.
3.
Barang Yang
Dijual
Hendaklah ia termasuk barang yang
dibolehkan, suci, dapat diserahterimakan kepada pembelinya dan kondisinya
diberitahukan kepada pembelinya, meski hanya gambaranya saja.
4.
Kalimat
Transaksi
Kalimat ijab dan qobul. Misalnya
pembeli berkata, “juallah barang ini kepadaku” atau dengan sikap yang
mengisyaratkan kalimat transaksi. Misalnya pembeli berkata, “jualah pakaian ini
kepada ku”. Kemudian penjual memberikan pakaian tersebut kepadanya.
5.
Adanya Kerdhoan
Di Antara Keduabelah Pihak
Tidak sah jual beli yang dilakukan
tanpa ada keridhaan di antara keduabelah pihak
berdasarkan sabda Rasullullah salallahu ‘alaihi wasallam :
“Jual beli itu (dianggap sah) hanyalah dengan berdasarkan
keridhaan. (H.R. Ibnu
Majah)
Adapun syarat-syarat
jual beli sesuai dengan rukun jual beli yang dikemukakan jumhur ulama diatas
sebagai berikut :
a.
Syarat-Syarat Orang
Yang Berakad
Para ulama fiqh sepakat bahwa orang yang melakukan
akad jual beli itu harus memenuhi syarat, yaitu :
1) Berakal sehat, oleh sebab itu seorang penjual dan pembeli harus memiliki
akal yang sehat agar dapat meakukan transaksi jual beli dengan keadaan sadar.
Jual beli yang dilakukan anak kecil yang belum berakal dan orang gila, hukumnya
tidak sah.
2) Atas dasar suka sama suka, yaitu kehendak sendiri dan tidak dipaksa pihak
manapun.
3) Yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda, maksudnya seorang tidak
dapat bertindak dalam waktu yang bersamaan sebagai penjual sekaligus sebagai
pembeli.
b.
Syarat Yang Terkait Dalam
Ijab Qabul
1) Orang yang mengucapkannya telah baligh dan berakal.
2) Qabul sesuai dengan ijab. Apabila antara ijab dan qabul tidak sesuai maka
jual beli tidak sah.
3) Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis. Maksudnya kedua belah pihak
yang melakukan jual beli hadir dan membicarakan topic yang sama.
c.
Syarat-syarat barang
yang diperjualbelikan
Syarat-syarat yang terkait dengan barang yang
diperjualbelikan sebagai berikut :
1)
Suci, dalam islam tidak
sah melakukan transaksi jual beli barang najis, seperti bangkai, babi, anjing,
dan sebagainya.
2)
Barang yang
diperjualbelikan merupakan milik sendiri atau diberi kuasa orang lain yang
memilikinya.
3)
Barang yang
diperjualbelikan ada manfaatnya. Contoh barang yang tidak bermanfaat adalah
lalat, nyamauk, dan sebagainya. Barang-barang seperti ini tidak sah
diperjualbelikan. Akan tetapi, jika dikemudian hari barang ini bermanfaat
akibat perkembangan tekhnologi atau yang lainnya, maka barang-barang itu sah
diperjualbelikan.
4)
Barang yang
diperjualbelikan jelas dan dapat dikuasai.
5)
Barang yang
diperjualbelikan dapat diketahui kadarnya, jenisnya, sifat, dan harganya.
6)
Boleh diserahkan saat
akad berlangsung .
d.
Syarat-syarat nilai
tukar (harga barang)
Nilai tukar barang yang
dijull (untuk zaman sekarang adalah uang) tukar ini para ulama fiqh membedakan al-tsaman
dengan al-si’r.Menurut mereka, al-tsaman adalah harga pasar
yang berlaku di tengah-tengah masyarakat secara actual, sedangkan al-si’r
adalah modal barang yang seharusnya diterima para pedagang sebelum dijual ke
konsumen (pemakai).Dengan demikian, harga barang itu ada dua, yaitu harga antar
pedagang dan harga antar pedagang dan konsumen (harga dipasar).
Syarat-syarat nilai
tukar (harga barang) yaitu :
1)
Harga yang disepakati
kedua belah pihak harus jelas jumlahnya.
2)
Boleh diserahkan pada
waktu akad, sekalipun secara hukumseperti pembayaran dengan cek dan kartu
kredit. Apabila harga barang itu dibayar kemudian (berutang) maka pembayarannya
harus jelas.
3)
Apabila jual beli itu
dilakukan dengan saling mempertukarkan barang maka barang yang dijadikan nilai
tukar bukan barang yang diharamkan oleh syara’, seperti babi, dan khamar,
karena kedua jenis benda ini tidak bernilai menurut syara’.
E.
Macam-Macam Jual Beli
Jual beli dapat
ditinjau dari berbragai segi, yaitu:
1. Ditinjau dari segi bendanya dapat dibedakan menjadi:
a) Jual beli benda yang kelihatan, yaitu jual beli yang pada waktu akad,
barangnya ada di hadapan penjual dan pembeli.
b) Jual beli salam, atau bisa juga disebut dengan pesanan. Dalam jual beli ini
harus disebutkan sifat-sifat barang dan harga harus dipegang ditempat akad
berlangsung.
c) Jual beli benda yang tidak ada, Jual
beli seperti ini tidak diperbolehkan dalam agama Islam.
2. Ditinjau dari segi pelaku atau subjek jual beli:
a) Dengan lisan, akad yang dilakukan
dengan lisan atau perkataan. Bagi orang bisu dapat diganti dengan isyarat.
b) Dengan perantara, misalnya dengan tulisan atau surat menyurat. Jual beli
ini dilakukan oleh penjual dan pembeli, tidak dalam satu majlis akad, dan ini
dibolehkan menurut syara’.
c) Jual beli dengan perbuatan, yaitu mengambil dan memberikan barang tanpa
ijab kabul. Misalnya seseorang mengambil mie instan yang sudah bertuliskan
label harganya. Menurut sebagian ulama syafiiyah hal ini dilarang karena ijab
kabul adalah rukun dan syarat jual beli, namun sebagian syafiiyah lainnya
seperti Imam Nawawi membolehkannya.
3. Dinjau dari segi hukumnya
Jual beli dinyatakan
sah atau tidak sah bergantung pada pemenuhan syarat dan rukun jual beli yang
telah dijelaskan di atas. Dari sudut pandang ini, jumhur ulama membaginya menjadi
dua, yaitu:
a) Shahih, yaitu jual beli yang memenuhi syarat dan rukunnya.
b) Ghairu Shahih, yaitu jual beli yang tidak memenuhi salah satu syarat dan
rukunnya.
Sedangkan fuqaha atau
ulama Hanafiyah membedakan jual beli menjadi tiga, yaitu:
1) Shahih, yaitu jual beli yang memenuhi syarat dan rukunnya
2) Bathil, adalah jual beli yang tidak memenuhi rukun dan syarat jual beli,
dan ini tidak diperkenankan oleh syara’. Misalnya:
a) Jual beli atas barang yang tidak ada ( bai’ al-ma’dum ), seperti jual beli
janin di dalam perut ibu dan jual beli buah yang tidak tampak.
b) Jual beli barang yang zatnya haram dan najis, seperti babi, bangkai dan
khamar.
c) Jual beli bersyarat, yaitu jual beli yang ijab kabulnya dikaitkan dengan
syarat-syarat tertentu yang tidak ada kaitannya dengan jual beli.
d) Jual beli yang menimbulkan kemudharatan, seperti jual beli patung, salib
atau buku-buku bacaan porno.
e) Segala bentuk jual beli yang mengakibatkan penganiayaan hukumnya haram,
seperti menjual anak binatang yang masih bergantung pada induknya.
3) Fasid yaitu jual beli yang secara prinsip tidak bertentangan dengan syara’
namun terdapat sifat-sifat tertentu yang menghalangi keabsahannya. Misalnya :
a) jual beli barang yang wujudnya ada, namun tidak dihadirkan ketika
berlangsungnya akad.
b) Jual beli dengan menghadang dagangan di luar kota atau pasar, yaitu
menguasai barang sebelum sampai ke pasar agar dapat membelinya dengan harga
murah
c) Membeli barang dengan memborong untuk ditimbun, kemudian akan dijual ketika
harga naik karena kelangkaan barang tersebut.
d) Jual beli barang rampasan atau curian.
e) Menawar barang yang sedang ditawar orang lain.
F.
Hikmah Jual
Beli
Hikmah jual beli dalam garis besarnya sebagai
berikut : Allah swt mensyariatkan jual beli sebagai pemberian keluangan dan
keleluasaan kepada hamba-hamba-Nya, karena semua manusia secara pribadi
mempunyai kebutuhan berupa sandang, pangan, dan papan. Kebutuhan seperti ini
tak pernah putus selama manusia masih hidup. Tak seorang pun dapat memenuhi
hajat hidupnya sendiri, karena itu manusia di tuntut berhubungan satu sama
lainnya. Dalam hubungan ini, taka da satu hal pun yang lebih sempurna daripada
saling tukar, dimana seorang memberikan apa yang ia miliki untuk kemudian ia
memperoleh sesuatu yang berguna dari orang lain sesuai dengan kebutuhannya masing-masing.[9]
Berikut ini beberapa hikmah jual beli dan
pejelasanya :
1.
Mencari dan Mendapatkan
Karunia Allah
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at,
Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli yang
demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan
shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan
ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS Al Jumuah : 9-10).
Ayat di atas menjelaskan
bahwa manusia harus mencari karunia Allah di muka bumi. Hal ini tentu saja
bagian dari kebutuhan hidup manusia dalam menjalankan aktifitas sehari-hari.
Untuk itu, jual beli adalah salah satu alat atau proses agar manusia
2.
Menjauhi Riba
“Sesungguhnya Allah jika mengharamkan atas suatukaum memakan sesuatu, maka
diharamkan pula hasil penjualannya” (HR Abu Daud dan
Ahmad)
Riba jelas dilarang
oleh Allah SWT. Untuk itu, melakukan jual beli dapat menjauhkan diri dari riba.
Tentu saja jika berjualan dan membeli tidak disandingkan dengan sistem riba
juga. Dengan jual beli, tentunya ada akad dan kesepakatan. Untuk itu, tidak
akan dikenai riba atau hal yang bisa mencekik hutang berlebih bagi pembeli.
Sebagaimana disampaikan
dalam hadist, Rasulullah SAW melaknat orang yang makan riba, yang memberi
makannya, penulisnya dan dua saksinya, dan beliau bersabda : “Mereka itu sama”.
(HR. Muslim) maka riba harus dijauhi dan jual beli tidak masalah dilakukan.
Asal dengan syarat dan ketentuan yang berlaku sesuai syariah islam.
3.
Menegakkan Keadilan dan
Keseimbangan dalam Ekonomi
“Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di
antara kamu.” (QS An-Nisa : 29)
Perniagaan atau jual
beli tentunya harus dilaksanakan dengan suka sama suka. Jika ada proses jual
beli yang membuat salah satu terdzalimi atau merasa tidak adil, maka perniagaan
itu tidak akan terjadi, atau jikalaupun terjadi maka yang rugi juga akan kembali
pada pihak tersebut.
Misalnya orang yang
menipu pembeli, maka pembeli yang merasa tidak adil akan tidak kembali kepada
penjual tersebut. Hal ini juga sebagaimana dijelaskan dalam hadist bahwa proses
jual beli akan meningkatkan keadilan dan keseimbangan ekonomi karena ada aturan
bahwa barang dan harga yang dijual harus sama dan menguntungkan satu sama lain.
“Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma
dengan kurma, garam dengan garam, sama beratnya dan langsung diserahterimakan.
Apabila berlainan jenis, maka juallah sesuka kalian namun harus langsung
diserahterimakan/secara kontan” (HR. Muslim).
4.
Menjaga Kehalalan
Rezeki
Dengan melakukan jual
beli maka kita bisa menjaga kehalalan rezeki. Tentu saja bagi yang melakukan
penipuan atau pelanggaran jual beli akan membuat rugi diri sendiri. Hal ini
sebagaimana disampaikan dalam sebuah hadist, “Seorang muslim adalah saudara
bagi muslim yang lain. Tidak halal bagi seorang muslim menjual barang dagangan
yang memiliki cacat kepada saudaranya sesama muslim, melainkan ia harus
menjelaskan cacat itu kepadanya” (HR. Ibnu Majah)
Dan bagi penjual atau
pembeli yang tidak bisa menjaga kehalalan rezekinya maka sebagiamana hadist, “Barang
siapa yang berlaku curang terhadap kami, maka ia bukan dari golongan kami.
Perbuatan makar dan tipu daya tempatnya di neraka” (HR. Ibnu Hibban)
5.
Produktifitas dan
Perputaran Ekonomi
Dengan adanya jual beli, hikmah yang didapat lagi
adalah akan terjadinya produktifitas dan perputaran roda ekonomi di masyarakat.
Ekonomi akan berjalan secara dinamis dan tidak dikuasai oleh satu orang saha
yang mengkonsumsi barang atau jasa. Untuk itu proses jual beli yang dilakukan
dengan adil dan seimbang akan membuat keberkahan rezeki bagi masyarakat.
6.
Silahturahmi dan Memperbanyak
Jejaring
Selain dari hal yang
disebutkan di atas, dapat diketahui pula bahwa proses jual beli dapat menambah
silahturahmi dan memperbanyak jejaring kita di masyarakat. Berbagai kebutuhan
akan kita beli di orang yang berbeda, untuk itu setiap transaksi jual beli kita
akan mendapatkan orang-orang yang berbeda di setiap harinya. Untuk itu jejaring
pun akan semakin banyak. Dengan silahturahmi dan jejaring tentunya hal tersebut
dapat menambahkan keberkahan harta dan rezeki kita.
Untuk itu, ummat islam
harus dapat melakukan jual beli yang halal agar hikmah dan keberkahan jual beli
tersebut dapat dirasakan dengan baik oleh kita. Tentu saja dengan menjauhi jual
beli yang juga mengandung riba.
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit
gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah: 275)[10]
G.
Jual Beli Dalam
Pendekatan Sosial
Manusia sebagai makhluk sosial akan selalu
berkeinginan untuk menjalin hubungan dengan mahluk soaial yang lain dengan
tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup, yaitu dengan cara berinteraksi
danmenjalinkomunikasi. Komunikasi merupakan proses sosial dimana
individu-individu menggunakan simbol-simbol untuk menciptakan dan
menginterpretasikan makna dalam lingkungan mereka (West 2008).
Salah satu fungsi komunikasi yang di kemukakan oleh William
I. Gorden dalam Mulyana (2005) adalah komunikasi sosial,
yaitu komunikasi memiliki peran penting dalam membangun konsep diri,
aktualisasi diri, untuk kelangsungan hidup, untuk memperoleh kebahagiaan,
terhindar dari tekanan dan ketegangan, dan untuk mempertahankan hubungan
dengan orang lain.
Perdagangan merupakan transaksi jual beli barang yang
dilakukan antara penjual dan pembeli di suatu tempat. Dalam proses berdagang,
di dalamnya terdapat proses interaksi, yakni komunikasi yang terjadi dalam
proses berdagang. Transaksi perdagangan dapat timbul jika terjadi pertemuan
antara penawaran dan permintaan terhadap barang yang dikehendaki. Perdagangan
sering dikaitkan dengan berlangsungnya transaksi yang terjadi sebagai akibat
munculnya problem kelangkaan barang. Perdagangan juga merupakan kegiatan
spesifik, karena di dalamnya melibatkan rangkaian kegiatan produksi dan
distribusi barang.
Jadi berdasarkan urayan di atas, sebagai makhluk
sosial, manusia akan selalu berkeinginan untuk menjalin hubungan dengan mahluk
soaial yang lain, dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup, yaitu dengan
cara berinteraksi dan menjalin komunikasi lewat bahasa yang
merupakan sarana untuk menyatakan pikiran dan maksud keinginan individu, bahkan
bahasa telah digunakan manusia sejak
zaman purba untuk berkomunikasi dengan sesama
manusia, misalnya di dalam proses perdagangan.[11]
H.
Jual Beli Dalam
Pendekatan Ekonomi
Untuk menguraikan Poin “Jual Beli
Dalam Pendekatan Ekonomi” ini penulis mendapat kesulitan dalam mencari
referensi, maka dari itu penulis berinisiatif untuk menerangkan poin tersebut
melalui tempat terjadinya jual beli yang paling besar dan riil yaitu pasar.
Pasar secara umum
adalah bertemunya penjual dan pembeli untuk melakukan kegiatan ekonomi yaitu
jual beli barang barang, jasa, ataupun sumber daya yang lain. Pasar pada
dasarnya tidak bisa diartikan sebagai sebuah tempat atau lokasi tertentu untuk
melakukan kegiatan jual beli. Hal ini dikarenakan pasar tidak memiliki
batas geografis yang jelas. Kemudahan dan kecanggihan sistem komukasi masa kini
bahkan mampu mengaburkan batasan geografis; sehingga juga memungkinkan penjual
dan pembeli tanpa harus bertatap muka/bertemu terlebiih dahulu.
Pasar secara umum bisa
diartikan sebagai suatu kegiatan atau transaksi jual beli. Pasar dalam ilmu
ekonomi didefinisikan sebagai besarnya penawaran dan permintaan akan suatu
barang dan jasa. Dalam artian ini, pasar tidak hanya merujuk pada penawaran dan
permintaan akan barang kebutuhan sehari-hari melainkan juga meliputi pasar
modal, tenaga kerja, uang, dan surat berharga.
Peran pasar dalam
perekonomian :
1) Bagi Produsen
Bagi produsen peran pasar sangat vital karena sebagi tempat untuk
mempromosikan hasil produksi atau jasa mereka. Selain itu pasar juga menjadi
tempat untuk memperlancar penjualan hasil produksi. Dengan adanya pasar,
pembeli akan dapat dengan mudah mendapatkan barang yang mereka inginkan dari
produsen tanpa harus mendatangi tempat produksi. Selain itu, pasar juga memudahkan
produsen untuk mendapatkan barang dan jasa yang mereka butuhkan dalam proses
produksi.
2) Bagi konsumen
Bagi konsumen, pasar juga memiliki peran yang sama penting yaitu sebagai
tempat untuk mendapatkan barang dan jasa yang mereka butuhkan. Konsumen tidak
perlu mendatangi tempat produksi atau pabrik untuk mendapatkan barang dan jasa
yang mereka butuhkan karena adanya pasar. Sehingga semakin luas pasar, maka
semaking mudah bagi konsumen untuk mendapatkan barang dan jasa yang dibutuhkan.
3) Bagi Pembangunan
Peran pasar bagi pembangunan adalah membantu menunjang pembagunan yang
sedang berlangsung. Dalam perannya ini, pasar membantu pengadaan barang dan
jasa yang dibutuhkan dalam pembangunan.
Pasar juga bisa digunakan sebagai sarana untuk membantu pembangunan
karena pajak dan retribusi yang ditarik pemerintah juga digunakan untuk
mendanai pembangunan negara.
4) Bagi sumber daya manusia
Kegiatan jual beli di pasar membutuhkan tenaga kerja atau sumber daya
manusia yang tidak sedikit. Banyak orang yang menjadikan pasar sebagai tempat
mereka mencari uang. Sehingga, semakin luas pasar; kebutuhan akan tenaga kerja
juga akan semakin bertambah. Dengan semakin banyak permintaan akan tenaga
kerja, pasar juga berperan dalam mengurangi jumlah pengangguran, membuka
lapangan kerja baru, serta memanfaatkan sumber daya manusia yang ada.
5) Bagi pemerintah
Selain sebagai penunjang pembangunan negara, pasar juga berperan sebagai
penambah pendapatan negara melalui pajak dan retribusi. Selain itu, bila barang
dan jasa yang tersedia di pasar juga dikirim ke negara lain; negara akan
mendapatkan tambahan pendapatan melalui devisa.
Dengan demikian, peran pasar dalam perekonomian sangatlah penting karena
banyak aspek yang bergantung pada keberadaan pasar.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari
segi bahasa, “muamalah” berasal dari kata arab yaitu aamala, yuamilu,
muamalatan, yang berarti perlakuan atau tindakan terhadap orang lain dalam
suatu kepentingan. Kata-kata semacam ini adalah kata kerja aktif yang harus
mempunyai dua buah pelaku yang mengerjakan pekerjaan yang sama.
Muamalah
secara istilah, dapat diartikan dengan arti yang luas. Menurut Louis Ma’luf,
pengertian muamalah adalah hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan urusan
dunia, dan kehidupan manusia seperti jual beli, perdagangan, dsb.
Jual
beli (al-bay) secara bahasa artinya memindahkan hak milik terhadap benda
dengan akad saling mengganti, dikatan : ba’a asy-syaia jika ia
mengeluarkannya dari hak miliknya, dan ba’ahu jika ia membelinya dan
memasukannya ke dalam hak miliknya.
Adapun
makna bay’i (jual beli) menurut istilah menurut syaikh Al-Qalyubi dalam Hasyiyah-nya
bahwa : “Akad saling mengganti dengan harta yang berakibat kepemilikan terhadap
suatu benda atau manfaat untuk tempo waktu selamanya dan bukan untuk
bertaqarrub kepada Allah.
Hukum
jual beli adalah halal sedangkan riba adalah haram. Sedangkan menjual barang
yang ghaib yang tidak kelihatan, maka hukumnya tidak boleh. Dan syah menjual
setiap barang yang suci yang bisa dimanfaatkan (menurut syara’) yang dimiliki.
Dan tidak syah menjual barang yang najis (seperti arak, kotoran manusia,
bangkai dll) dan tidak syah menjual barang yang tidak ada manfaatnya (seperti
semut kaljengking dsb.)
Jual beli dinyatakan
sah atau tidak sah bergantung pada pemenuhan syarat dan rukun jual beli.
Ada
hikmah jual beli seperti, Mencari dan Mendapatkan
Karunia Allah, Menjauhi Riba, menjaga kehalalan rizki, Produktifitas dan
Perputaran Ekonomi, Silahturahmi dan Memperbanyak Jejaring.
Sebagai makhluk sosial,
manusia akan selalu berkeinginan untuk menjalin hubungan dengan mahluk soaial
yang lain, dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup, yaitu dengan cara
berinteraksi dan menjalin komunikasi lewat bahasa yang
merupakan sarana untuk menyatakan pikiran dan maksud keinginan
individu, bahkan bahasa telah digunakan manusia sejak
zaman purba untuk berkomunikasi dengan sesama
manusia, misalnya di dalam proses perdagangan.
Peran pasar dalam
perekonomian sangatlah penting karena banyak aspek yang bergantung pada
keberadaan pasar
DAFTAR PUSTAKA
·
http//referensimakalah.com/2012/09/pengertian-bahsa-dari-segi-bahasa-dan-istilah.html?m=1
·
Azzam Abdul
Azis Muhammad, 2010,Fiqih Muamalat,Jakarta : Amzah
·
al-Jaza’iri
Syaikh Abu Bakar Jabir, 2017,Minhajul Muslim,Jakarta : Darul Haq
·
Anwar Moch,
1972, Fiqih Islam,Bandung : Pt. Alma’arif
·
https://www.kompasiana.com/victorpondaag/prilaku-pedagang-dalam-berdagang_54f80401a33311c27b8b5124
·
Ihsan
Gufron,2008, Fiqh Muamalah,Jakarta : Prenada Media Grup
·
https://dalamislam.com/hukum-islam/ekonomi/hikmah-jual-beli
[1]
http//referensimakalah.com/2012/09/pengertian-bahsa-dari-segi-bahasa-dan-istilah.html?m=1
[2]
Prof. Dr. Abdul
Azis Muhammad Azzam,Fiqih Muamalat,(Jakarta : Amzah, 2010), hlm. 06
[3]
Prof. Dr. Abdul
Azis Muhammad Azzam,Fiqih Muamalat,(Jakarta : Amzah, 2010), hlm. 23
[4] Prof. Dr.
Abdul Azis Muhammad Azzam,Fiqih Muamalat,(Jakarta : Amzah, 2010), hlm.
24
[5]
Syaikh Abu Bakar Jabir
al-Jaza’iri,Minhajul Muslim,(Jakarta : Darul Haq 2017) hlm. 635
[6] Prof. Dr. Abdul Azis Muhammad
Azzam,Fiqih Muamalat,(Jakarta : Amzah, 2010), hlm. 26
[7] H. Moch Anwar, Fiqih Islam,(Bandung
: Pt. Alma’arif, 1972), hlm. 114
[8] H. Moch Anwar, Fiqih Islam,(Bandung
: Pt. Alma’arif, 1972), hlm. 113
[9]
Drs. Gufron
Ihsan, M.A, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Prenada Media Grup, 2008), hlm.
89.
[10]
https://dalamislam.com/hukum-islam/ekonomi/hikmah-jual-beli
[11]
https://www.kompasiana.com/victorpondaag/prilaku-pedagang-dalam-berdagang_54f80401a33311c27b8b5124
Komentar
Posting Komentar